Senin, 06 Januari 2014

Sukorejo



Segala sesuatu yang ada di bumi ini memiliki sejarah, sebelum akhirnya terbentuk. Begitu pula yang terjadi dengan sebuah desa yang berada di tenga kota yang dikenal sebagai kota Ledre, Bojonegoro. Dan inilah sebuah kisah yang menghantarkan pada terbentuknya Desa Sukorejo.
Diceritakan pada zaman dahulu, lahirlah seorang tokoh yang kelak ia menjadi tonggak cikal bakal Sukorejo. Tak ada sumber yang menyebutkan tahun berapa ia dilahirkan. Tokoh itu adalah Raden Mas Subkhan atau Jumali atau yang lebih dikenal orang bernama Singonoyo. Singonoyo dilahirkan di kawasan Gunung Santri, Banten, Jawa Barat. Sumber lain mengatakan bahwa Singonoyo dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah. Hal itu karena ditemukan makam ayahandanya di Semarang ( tepatnya di teras sebelah kanan Masjid Jami’ Semarang ).  Ayahnya bernama Syahidu bin Raden Santri bin Raden Paku ( Sunan Gunung Jati). Adapula yang menyebutnya Sya’du yang bergelar sebagi Wali Joko.
Suatu ketika, Singonoyo dipanggil ayahandanya. Berkatalah ayahandanya itu, “ Le, Kamu sudah mulai dewasa. Bapak ingin kamu menuntut ilmu dan memperdalam ilmu agama yang telah Bapak berikan padamu. Maka bergurulah kamu kepada Kyai Qomaruddin. Dan kembangkanlah ilmu yang beliau ajarkan kepadamu.”  
Maka berangkatlah Singonoyo menemui Kyai Qomaruddin yang bertempat di daerah utara Gresik. Sumber yang lain mengatakan bahwa Kyai Qomaruddin bertempat di Tegal Sari, Ponorogo. Selain berguru kepada Kyai Qomaruddin. Dia berjuang mengembangkan ilmu itu sampai ke kawasan Ngawi, Nganjuk dan Madiun.
Setelah bertahun tahu mengaji pada Kyai Qomaruddin dan dirasa ilmunya sudah semakin dalam, menghadaplah Singonoyo kepada Kyai, “ Yai, kulo nyuwun izin badhe wangsul. Kulo kepingin ngembangake ilmu kulo saking Pak Yai teng wilayah liyanipun.”
“ Yen ngunu Le, sing mbuk pingini, yo wes. Aku gak iso nyanguni opo-opo. Lamun dongaku kanggo awakmu,mugi-mugi Sing Kuoso paring kesehatan lan panjang umur. Mugo anak, cucu lan turunanmu kabeh diwenehi kepinteran ngaji lan nduweni ilmu agomo sing luas.”
Maka pergilah Singonoyo meninggalkan tempatnya mengaji dengan hanya diiringi do’a gurunya. Ia tidak kembali ke rumah masa kecilnya. Singonoyo memutuskan untuk merantau dan mengembangkan agamanya di Kayunan, Soko, Tuban. Keterampilannya dalam mengembangkan agama itu telah menarik perhatian Bupati Tuban yang bernama Raden Wiroyudo ( Sunun Kayunan). Karenanya, Bupati Tuban itu berkeinginan agar Singonoyo menikahi putrinya (tak diketahui siapa namanya).
“ Ada apa gerangan anda memanggil saya?” Tanya Singonoyo, ketika disuruh menghadap suatu ketika.
“ Saya sungguh kagum pada semangatmu untuk menyiarkan agama pada masyarakat sekitar. Saya ingin anda menjadi menantu saya. Maukah anda menikahi putri saya?”
“ Apabila itu yang anda inginkan, saya pun tidak bisa menolaknya. Hanya saja, saya ini di sini hanya merantau. Dan tidak punya apa-apa untuk saya berikan kepada putri anda.”
“ jika itu yang anda khawatirkan, itu bukan hal yang akan jadi masalah. Saya hanya menginginkan anda membimbing putri saya dengan agama yang anda miliki.”
“ Baiklah jika memang demikian. Saya bersedia.”
“ Saya juga ingin anda mengelola sebidang tanah yang saya miliki di daerah Rajekwesi. Kelola dan kembangkan agama anda di tempat itu.”
Dan setelah resmi menjadi menantu Raden Wiroyudo, Singonoyo pergi mengelola tanah (tepatnya sekarang menjadi Masjid Darussalam Bojonegoro dan makam di belang masjid) yang diberikan Bupati Tuban itu padanya. Di tempat itu ia mendirikan rumah dan menyiarkan agamanya. Untuk menarik masyarakat sekitarnya, Singonoyo memainkan kesenian Jaran Kepang ( sekarang dimuseumkan di atap Masjid Darussalam). Saat Singonoyo tiba di tanah rajekwesi, Bupati pertama Bojonegoro, Haryomataun, belum memerintah. Sekitar abad 17 M, ketika Haryomataun mulai memerintah, tanah yang dimiliki Singonoyo itu di minta negara.
“ Pemerintah ingin mendirikan tanah yang dekat dengan kadipaten. Bersediakah anda jika pemerintah meminta tanah anda? Tanah anda tetap akan diganti dengan tanah milik negara yang lain. Anda bebas memilih tanah yang ingin anda miliki.”
“ Saya bersedia. Dan jika memang tidak diganti sekalipun, saya tetap bersedia.”
“ Pilihlah tanah yang anda sukai!”
Maka Singonoyo pun memilih sebidang tanah berupa hutan belantara ( Sekarang dikenal dengan jalan Brigjend Sutoyo ). Di sebidang tanah itu ia kembali membangun rumahnya. Di tempat itu, istrinya melahirkan 4 orang anak bernama Singorejo, Singodongso, Singojoyo dan Singodono. Sumber lain menyebutkan bahwa anak Singonoyo yang paling bungsu bernama Trunopati. Dari anaknya itu menghasilkan keturunan-keturunan. Semakin lama anak cucunya semakin memenuhi tempat itu dan terbentuklah sebuah desa kecil.
“ Tak baik jika sesuatu dibiarkan tak bernama. Aku ingin menamakan tempat ini dengan nama Gandhu.”
Jam terus berputar, waktu pun terus berganti. Keturunan Singonoyo terus bertambah, lahan yang ditempati pun semakin bertambah luas ( seluas Sukorejo saat ini ). Dan kemudian pada saat Belanda masuk wilayah Bojonegoro…….
“ I ingin nama Gandhu dirubah menjadi Sukorejo!”
Dan jadilah sebuah Desa bernama Sukorejo seperti yang ada saat ini.



BINTANG DI KEBUN BUAH BINTANG



Fajar melempar tas dan sepatunya dengan sembarang ke atas kasur. Setelah itu, dia langsung melenggang pergi, masih dengan seragam sekolahnya putih abu-abu yang cukup berantakan. Keluar sana-sini dari celananya. Dua kancing teratas bajunya dibiarkan terbuka. Tangan kirinya menenteng sebuah buku dan pensil, sementara tangan kanannya dimasukkan dalam saku celananya. Tujuannya cuma satu, kebun belimbing milik kakeknya yang tak jauh dari rumahnya.
Terik mentari siang tak menyurutkan niatnya untuk pergi ke kebun. Fajar melompati pagar kebun yang terbuat dari kayu. Dengan satu kali lompatan dia sudah masuk di kebun tersebut. Mudah sekali dia melewati pagar itu. Maklum saja, tinggi badannya mencapai 175 cm, sementara pagar tersebut hanya sepinggangnya. Dia terdiam sejenak, lalu pandangannya mengitari seluruh penjuru kebun. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya sekumpulan pohon belimbing setinggi 2 m yang berbaris rapi dengan jarak yang teratur. Dari setiap pohon tumbuh cabang-cabang kecil yang terdapat buah belimbing. Ada yang masih hijau kecil, tetapi ada juga yang sudah kuning berukuran besar dan pastinya sudah siap panen. Yummi.. sepertinya segar untuk siang yang terik itu. Daun-daun tumbuh rindang, sehingga dapat melindungi dari garangnya sinar mentari. Hanya terdapat beberapa celah kecil yang dapat dilewati cahaya. Rumput-rumput setinggi mata kaki menutupi seluruh tanah di kebun itu, kecuali jalan setapak yang berhubungan dengan pintu pagar. Tempat itu pantas mendapat sebutan “hutan berbuah”. Tampak juga para pekerja yang hilir mudik. Ada yang membungkus buah dengan plastic, memetik buah yang masak dan mengangkutnya ke suatu tempat.
Seekor keluwing merambat di kaki Fajar, membuatnya terkejut. Dia membungkuk dan menyentuh keluwing yang langsung melingkar, lalu mengambil dan melemparnya ke jalanan. Dengan cuek, Fajar kembali berjalan menerobos rerumputan. Beberapa pekerja mengangguk dan menyapanya. Namun Fajar tetaplah Fajar. Dia tetap cuek dan tak tampak senyum balasan di bibirnya. Dia hanya memandang mereka dalam diam.
Tetap dengan langkah santai, Fajar menuju tempat di sudut kebun itu yang sunyi. Dekat dengan Bengawan Solo. Dia memetik sebuah belimbing paling masak yang ada didekatnya dan langsung memakan tanpa mencucinya terlebih dahulu. Kemudian dia duduk bersandar di bawah pohon itu. Setelah merasa nyaman, Fajar membuka bukunya dan mulai melukis, hobby yang setiap hari ditekuninya.
Tak lama kemudian terdengar sayup suara perempuan memanggilnya. Suara yang dikenal Fajar sebagai suara Kejora, adiknya. Usianya baru 10 tahun. Terpaut 7 tahun dengan Fajar. Wajahnya imut, pipinya chubby, bibirnya mungil, rambutnya seleher dan dibiarkan tergerai. Tingginya hanya sedada Fajar dan berkulit putih.
“Mas !” panggilnya “Bintang lho ndek endi ? wis dikasih makan po during ? diurusi po’o ! moso’ Cuma mungut thok ?! ngakune penyayang binatang !!”
Fajar menghentikan aktivitasnya, dia menoleh pada adiknya dan dalam satu gapaian, tangannya meraih kepala adiknya dan mengacak pelan rambutnya. Dia sama sekali tidak marah meski adiknya mengganggu aktivitasnya “santai leh dek ! paling Bintang yow is oleh panganan ! tikus ndek omahe tonggo during entek !”
“yo ojo ngunu leh maa ! lak awakmu dewe sih yang bersikeras ngambil Bintang teko ndalan ?! sakne Bintang kalo kelaparan ! moso’ aku terus yang ngurusi ? mana tanggung jawabmu mas ??”
“tak piker awakmu wis paham nek masmu koyo’ ngene, kok isih mbok uber ae !!”
“Mas.. jare guruku yang lebih tua iku ngasih contoh !”
Fajar menghela napas panjang dan langsung menutup buku sketsanya. Dengan agak enggan dia berdiri dan kembali mengacak rambut Kejora “dasar cah cilik !! yow is enteni ndek omah, tak golekne !!”
Fajar berjalan tanpa menunggu adiknya. Dia menuju rumah tetangganya yang sering dijadikan tempat bermain Bintang. Tapi ternyata, Bintang tak ada dan Fajar kembali ke rumah.
“piye mas ? endi Bintang ?”
Fajar mengangkat bahu agak cuek “ga ono !!”
Kejora memanyunkan bibirnya karena tingkah cuek kakaknya.
“gak usah cemberut ! santai !”
“piye leh mas, Bintang ilang kok santai ? Bintang iku ga tau nang endi-endi kecuali nang mae tonggo !! moso’ ndek kebun buah bintang mas?”
“lha ate lapo ? moso’ Bintang makan belimbing ? yow is, santai ! tak golekane mrono !!” Fajar membalikkan badan
“meluu !!”
“yo ayo !!” mereka berdua berjalan ke kebun. Tapi Fajar berjalan tiga langkah di depan Kejora. Mereka mengitari seluruh kebun dan memanggil-manggil Bintang. Tapi kucing kesayangannya itu tidak ada disana. Salah seorang pekerja kebun mendekatinya.
“Mas Fajar mencari kucing ya ? aku lihat dia di atas pohon belimbing… dan…” pekerja itu ragu untuk melanjutkan ucapannya. Fajar diam dan hanya mengerutkan dahi, ”sepertinya…mati mas!” Fajar dan Kejora membelalakkan mata, terkejut.
“apa?” pekik Kejora “antar kami kesana pak!”. Tanpa banyak bicara lagi mereka menuju tempat Bintang. Fajar berjalan paling belakang. Semakin dekat, Fajar dapat melihat kucing putih belang oranye kesayangannya tergantung di atas pohon tak bernyawa dengan mulut berbusa.
“Bintang..” ucap Fajar setengah berbisik.