Segala sesuatu yang ada
di bumi ini memiliki sejarah, sebelum akhirnya terbentuk. Begitu pula yang
terjadi dengan sebuah desa yang berada di tenga kota yang dikenal sebagai kota
Ledre, Bojonegoro. Dan inilah sebuah kisah yang menghantarkan pada terbentuknya
Desa Sukorejo.
Diceritakan pada zaman
dahulu, lahirlah seorang tokoh yang kelak ia menjadi tonggak cikal bakal
Sukorejo. Tak ada sumber yang menyebutkan tahun berapa ia dilahirkan. Tokoh itu
adalah Raden Mas Subkhan atau Jumali atau yang lebih dikenal orang bernama
Singonoyo. Singonoyo dilahirkan di kawasan Gunung Santri, Banten, Jawa Barat.
Sumber lain mengatakan bahwa Singonoyo dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah. Hal
itu karena ditemukan makam ayahandanya di Semarang ( tepatnya di teras sebelah
kanan Masjid Jami’ Semarang ). Ayahnya
bernama Syahidu bin Raden Santri bin Raden Paku ( Sunan Gunung Jati). Adapula
yang menyebutnya Sya’du yang bergelar sebagi Wali Joko.
Suatu ketika, Singonoyo
dipanggil ayahandanya. Berkatalah ayahandanya itu, “ Le, Kamu sudah mulai
dewasa. Bapak ingin kamu menuntut ilmu dan memperdalam ilmu agama yang telah
Bapak berikan padamu. Maka bergurulah kamu kepada Kyai Qomaruddin. Dan
kembangkanlah ilmu yang beliau ajarkan kepadamu.”
Maka berangkatlah
Singonoyo menemui Kyai Qomaruddin yang bertempat di daerah utara Gresik. Sumber
yang lain mengatakan bahwa Kyai Qomaruddin bertempat di Tegal Sari, Ponorogo.
Selain berguru kepada Kyai Qomaruddin. Dia berjuang mengembangkan ilmu itu
sampai ke kawasan Ngawi, Nganjuk dan Madiun.
Setelah bertahun tahu
mengaji pada Kyai Qomaruddin dan dirasa ilmunya sudah semakin dalam,
menghadaplah Singonoyo kepada Kyai, “ Yai, kulo nyuwun izin badhe wangsul. Kulo
kepingin ngembangake ilmu kulo saking Pak Yai teng wilayah liyanipun.”
“ Yen ngunu Le, sing
mbuk pingini, yo wes. Aku gak iso nyanguni opo-opo. Lamun dongaku kanggo
awakmu,mugi-mugi Sing Kuoso paring kesehatan lan panjang umur. Mugo anak, cucu
lan turunanmu kabeh diwenehi kepinteran ngaji lan nduweni ilmu agomo sing luas.”
Maka pergilah Singonoyo
meninggalkan tempatnya mengaji dengan hanya diiringi do’a gurunya. Ia tidak
kembali ke rumah masa kecilnya. Singonoyo memutuskan untuk merantau dan
mengembangkan agamanya di Kayunan, Soko, Tuban. Keterampilannya dalam
mengembangkan agama itu telah menarik perhatian Bupati Tuban yang bernama Raden
Wiroyudo ( Sunun Kayunan). Karenanya, Bupati Tuban itu berkeinginan agar
Singonoyo menikahi putrinya (tak diketahui siapa namanya).
“ Ada apa gerangan anda
memanggil saya?” Tanya Singonoyo, ketika disuruh menghadap suatu ketika.
“ Saya sungguh kagum
pada semangatmu untuk menyiarkan agama pada masyarakat sekitar. Saya ingin anda
menjadi menantu saya. Maukah anda menikahi putri saya?”
“ Apabila itu yang anda
inginkan, saya pun tidak bisa menolaknya. Hanya saja, saya ini di sini hanya
merantau. Dan tidak punya apa-apa untuk saya berikan kepada putri anda.”
“ jika itu yang anda
khawatirkan, itu bukan hal yang akan jadi masalah. Saya hanya menginginkan anda
membimbing putri saya dengan agama yang anda miliki.”
“ Baiklah jika memang
demikian. Saya bersedia.”
“ Saya juga ingin anda
mengelola sebidang tanah yang saya miliki di daerah Rajekwesi. Kelola dan
kembangkan agama anda di tempat itu.”
Dan setelah resmi
menjadi menantu Raden Wiroyudo, Singonoyo pergi mengelola tanah (tepatnya
sekarang menjadi Masjid Darussalam Bojonegoro dan makam di belang masjid) yang
diberikan Bupati Tuban itu padanya. Di tempat itu ia mendirikan rumah dan
menyiarkan agamanya. Untuk menarik masyarakat sekitarnya, Singonoyo memainkan
kesenian Jaran Kepang ( sekarang dimuseumkan di atap Masjid Darussalam). Saat
Singonoyo tiba di tanah rajekwesi, Bupati pertama Bojonegoro, Haryomataun,
belum memerintah. Sekitar abad 17 M, ketika Haryomataun mulai memerintah, tanah
yang dimiliki Singonoyo itu di minta negara.
“ Pemerintah ingin
mendirikan tanah yang dekat dengan kadipaten. Bersediakah anda jika pemerintah
meminta tanah anda? Tanah anda tetap akan diganti dengan tanah milik negara
yang lain. Anda bebas memilih tanah yang ingin anda miliki.”
“ Saya bersedia. Dan
jika memang tidak diganti sekalipun, saya tetap bersedia.”
“ Pilihlah tanah yang
anda sukai!”
Maka Singonoyo pun
memilih sebidang tanah berupa hutan belantara ( Sekarang dikenal dengan jalan
Brigjend Sutoyo ). Di sebidang tanah itu ia kembali membangun rumahnya. Di
tempat itu, istrinya melahirkan 4 orang anak bernama Singorejo, Singodongso,
Singojoyo dan Singodono. Sumber lain menyebutkan bahwa anak Singonoyo yang
paling bungsu bernama Trunopati. Dari anaknya itu menghasilkan keturunan-keturunan.
Semakin lama anak cucunya semakin memenuhi tempat itu dan terbentuklah sebuah
desa kecil.
“ Tak baik jika sesuatu
dibiarkan tak bernama. Aku ingin menamakan tempat ini dengan nama Gandhu.”
Jam terus berputar,
waktu pun terus berganti. Keturunan Singonoyo terus bertambah, lahan yang
ditempati pun semakin bertambah luas ( seluas Sukorejo saat ini ). Dan kemudian
pada saat Belanda masuk wilayah Bojonegoro…….
“ I ingin nama Gandhu
dirubah menjadi Sukorejo!”
Dan jadilah sebuah Desa
bernama Sukorejo seperti yang ada saat ini.