Senin, 06 Januari 2014

BINTANG DI KEBUN BUAH BINTANG



Fajar melempar tas dan sepatunya dengan sembarang ke atas kasur. Setelah itu, dia langsung melenggang pergi, masih dengan seragam sekolahnya putih abu-abu yang cukup berantakan. Keluar sana-sini dari celananya. Dua kancing teratas bajunya dibiarkan terbuka. Tangan kirinya menenteng sebuah buku dan pensil, sementara tangan kanannya dimasukkan dalam saku celananya. Tujuannya cuma satu, kebun belimbing milik kakeknya yang tak jauh dari rumahnya.
Terik mentari siang tak menyurutkan niatnya untuk pergi ke kebun. Fajar melompati pagar kebun yang terbuat dari kayu. Dengan satu kali lompatan dia sudah masuk di kebun tersebut. Mudah sekali dia melewati pagar itu. Maklum saja, tinggi badannya mencapai 175 cm, sementara pagar tersebut hanya sepinggangnya. Dia terdiam sejenak, lalu pandangannya mengitari seluruh penjuru kebun. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya sekumpulan pohon belimbing setinggi 2 m yang berbaris rapi dengan jarak yang teratur. Dari setiap pohon tumbuh cabang-cabang kecil yang terdapat buah belimbing. Ada yang masih hijau kecil, tetapi ada juga yang sudah kuning berukuran besar dan pastinya sudah siap panen. Yummi.. sepertinya segar untuk siang yang terik itu. Daun-daun tumbuh rindang, sehingga dapat melindungi dari garangnya sinar mentari. Hanya terdapat beberapa celah kecil yang dapat dilewati cahaya. Rumput-rumput setinggi mata kaki menutupi seluruh tanah di kebun itu, kecuali jalan setapak yang berhubungan dengan pintu pagar. Tempat itu pantas mendapat sebutan “hutan berbuah”. Tampak juga para pekerja yang hilir mudik. Ada yang membungkus buah dengan plastic, memetik buah yang masak dan mengangkutnya ke suatu tempat.
Seekor keluwing merambat di kaki Fajar, membuatnya terkejut. Dia membungkuk dan menyentuh keluwing yang langsung melingkar, lalu mengambil dan melemparnya ke jalanan. Dengan cuek, Fajar kembali berjalan menerobos rerumputan. Beberapa pekerja mengangguk dan menyapanya. Namun Fajar tetaplah Fajar. Dia tetap cuek dan tak tampak senyum balasan di bibirnya. Dia hanya memandang mereka dalam diam.
Tetap dengan langkah santai, Fajar menuju tempat di sudut kebun itu yang sunyi. Dekat dengan Bengawan Solo. Dia memetik sebuah belimbing paling masak yang ada didekatnya dan langsung memakan tanpa mencucinya terlebih dahulu. Kemudian dia duduk bersandar di bawah pohon itu. Setelah merasa nyaman, Fajar membuka bukunya dan mulai melukis, hobby yang setiap hari ditekuninya.
Tak lama kemudian terdengar sayup suara perempuan memanggilnya. Suara yang dikenal Fajar sebagai suara Kejora, adiknya. Usianya baru 10 tahun. Terpaut 7 tahun dengan Fajar. Wajahnya imut, pipinya chubby, bibirnya mungil, rambutnya seleher dan dibiarkan tergerai. Tingginya hanya sedada Fajar dan berkulit putih.
“Mas !” panggilnya “Bintang lho ndek endi ? wis dikasih makan po during ? diurusi po’o ! moso’ Cuma mungut thok ?! ngakune penyayang binatang !!”
Fajar menghentikan aktivitasnya, dia menoleh pada adiknya dan dalam satu gapaian, tangannya meraih kepala adiknya dan mengacak pelan rambutnya. Dia sama sekali tidak marah meski adiknya mengganggu aktivitasnya “santai leh dek ! paling Bintang yow is oleh panganan ! tikus ndek omahe tonggo during entek !”
“yo ojo ngunu leh maa ! lak awakmu dewe sih yang bersikeras ngambil Bintang teko ndalan ?! sakne Bintang kalo kelaparan ! moso’ aku terus yang ngurusi ? mana tanggung jawabmu mas ??”
“tak piker awakmu wis paham nek masmu koyo’ ngene, kok isih mbok uber ae !!”
“Mas.. jare guruku yang lebih tua iku ngasih contoh !”
Fajar menghela napas panjang dan langsung menutup buku sketsanya. Dengan agak enggan dia berdiri dan kembali mengacak rambut Kejora “dasar cah cilik !! yow is enteni ndek omah, tak golekne !!”
Fajar berjalan tanpa menunggu adiknya. Dia menuju rumah tetangganya yang sering dijadikan tempat bermain Bintang. Tapi ternyata, Bintang tak ada dan Fajar kembali ke rumah.
“piye mas ? endi Bintang ?”
Fajar mengangkat bahu agak cuek “ga ono !!”
Kejora memanyunkan bibirnya karena tingkah cuek kakaknya.
“gak usah cemberut ! santai !”
“piye leh mas, Bintang ilang kok santai ? Bintang iku ga tau nang endi-endi kecuali nang mae tonggo !! moso’ ndek kebun buah bintang mas?”
“lha ate lapo ? moso’ Bintang makan belimbing ? yow is, santai ! tak golekane mrono !!” Fajar membalikkan badan
“meluu !!”
“yo ayo !!” mereka berdua berjalan ke kebun. Tapi Fajar berjalan tiga langkah di depan Kejora. Mereka mengitari seluruh kebun dan memanggil-manggil Bintang. Tapi kucing kesayangannya itu tidak ada disana. Salah seorang pekerja kebun mendekatinya.
“Mas Fajar mencari kucing ya ? aku lihat dia di atas pohon belimbing… dan…” pekerja itu ragu untuk melanjutkan ucapannya. Fajar diam dan hanya mengerutkan dahi, ”sepertinya…mati mas!” Fajar dan Kejora membelalakkan mata, terkejut.
“apa?” pekik Kejora “antar kami kesana pak!”. Tanpa banyak bicara lagi mereka menuju tempat Bintang. Fajar berjalan paling belakang. Semakin dekat, Fajar dapat melihat kucing putih belang oranye kesayangannya tergantung di atas pohon tak bernyawa dengan mulut berbusa.
“Bintang..” ucap Fajar setengah berbisik.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar