Fajar melempar tas dan
sepatunya dengan sembarang ke atas kasur. Setelah itu, dia langsung melenggang
pergi, masih dengan seragam sekolahnya putih abu-abu yang cukup berantakan.
Keluar sana-sini dari celananya. Dua kancing teratas bajunya dibiarkan terbuka.
Tangan kirinya menenteng sebuah buku dan pensil, sementara tangan kanannya
dimasukkan dalam saku celananya. Tujuannya cuma satu, kebun belimbing milik
kakeknya yang tak jauh dari rumahnya.
Terik mentari siang tak
menyurutkan niatnya untuk pergi ke kebun. Fajar melompati pagar kebun yang
terbuat dari kayu. Dengan satu kali lompatan dia sudah masuk di kebun tersebut.
Mudah sekali dia melewati pagar itu. Maklum saja, tinggi badannya mencapai 175
cm, sementara pagar tersebut hanya sepinggangnya. Dia terdiam sejenak, lalu
pandangannya mengitari seluruh penjuru kebun. Sejauh mata memandang, yang
tampak hanya sekumpulan pohon belimbing setinggi 2 m yang berbaris rapi dengan
jarak yang teratur. Dari setiap pohon tumbuh cabang-cabang kecil yang terdapat
buah belimbing. Ada yang masih hijau kecil, tetapi ada juga yang sudah kuning
berukuran besar dan pastinya sudah siap panen. Yummi.. sepertinya segar untuk
siang yang terik itu. Daun-daun tumbuh rindang, sehingga dapat melindungi dari
garangnya sinar mentari. Hanya terdapat beberapa celah kecil yang dapat
dilewati cahaya. Rumput-rumput setinggi mata kaki menutupi seluruh tanah di
kebun itu, kecuali jalan setapak yang berhubungan dengan pintu pagar. Tempat
itu pantas mendapat sebutan “hutan berbuah”. Tampak juga para pekerja yang
hilir mudik. Ada yang membungkus buah dengan plastic, memetik buah yang masak
dan mengangkutnya ke suatu tempat.
Seekor keluwing
merambat di kaki Fajar, membuatnya terkejut. Dia membungkuk dan menyentuh
keluwing yang langsung melingkar, lalu mengambil dan melemparnya ke jalanan.
Dengan cuek, Fajar kembali berjalan menerobos rerumputan. Beberapa pekerja
mengangguk dan menyapanya. Namun Fajar tetaplah Fajar. Dia tetap cuek dan tak
tampak senyum balasan di bibirnya. Dia hanya memandang mereka dalam diam.
Tetap dengan langkah
santai, Fajar menuju tempat di sudut kebun itu yang sunyi. Dekat dengan
Bengawan Solo. Dia memetik sebuah belimbing paling masak yang ada didekatnya
dan langsung memakan tanpa mencucinya terlebih dahulu. Kemudian dia duduk
bersandar di bawah pohon itu. Setelah merasa nyaman, Fajar membuka bukunya dan
mulai melukis, hobby yang setiap hari ditekuninya.
Tak lama kemudian
terdengar sayup suara perempuan memanggilnya. Suara yang dikenal Fajar sebagai
suara Kejora, adiknya. Usianya baru 10 tahun. Terpaut 7 tahun dengan Fajar.
Wajahnya imut, pipinya chubby, bibirnya mungil, rambutnya seleher dan dibiarkan
tergerai. Tingginya hanya sedada Fajar dan berkulit putih.
“Mas !” panggilnya
“Bintang lho ndek endi ? wis dikasih makan po during ? diurusi po’o ! moso’
Cuma mungut thok ?! ngakune penyayang binatang !!”
Fajar menghentikan
aktivitasnya, dia menoleh pada adiknya dan dalam satu gapaian, tangannya meraih
kepala adiknya dan mengacak pelan rambutnya. Dia sama sekali tidak marah meski
adiknya mengganggu aktivitasnya “santai leh dek ! paling Bintang yow is oleh
panganan ! tikus ndek omahe tonggo during entek !”
“yo ojo ngunu leh maa !
lak awakmu dewe sih yang bersikeras ngambil Bintang teko ndalan ?! sakne Bintang
kalo kelaparan ! moso’ aku terus yang ngurusi ? mana tanggung jawabmu mas ??”
“tak piker awakmu wis
paham nek masmu koyo’ ngene, kok isih mbok uber ae !!”
“Mas.. jare guruku yang
lebih tua iku ngasih contoh !”
Fajar menghela napas
panjang dan langsung menutup buku sketsanya. Dengan agak enggan dia berdiri dan
kembali mengacak rambut Kejora “dasar cah cilik !! yow is enteni ndek omah, tak
golekne !!”
Fajar berjalan tanpa
menunggu adiknya. Dia menuju rumah tetangganya yang sering dijadikan tempat
bermain Bintang. Tapi ternyata, Bintang tak ada dan Fajar kembali ke rumah.
“piye mas ? endi
Bintang ?”
Fajar mengangkat bahu
agak cuek “ga ono !!”
Kejora memanyunkan
bibirnya karena tingkah cuek kakaknya.
“gak usah cemberut !
santai !”
“piye leh mas, Bintang
ilang kok santai ? Bintang iku ga tau nang endi-endi kecuali nang mae tonggo !!
moso’ ndek kebun buah bintang mas?”
“lha ate lapo ? moso’
Bintang makan belimbing ? yow is, santai ! tak golekane mrono !!” Fajar
membalikkan badan
“meluu !!”
“yo ayo !!” mereka berdua
berjalan ke kebun. Tapi Fajar berjalan tiga langkah di depan Kejora. Mereka
mengitari seluruh kebun dan memanggil-manggil Bintang. Tapi kucing
kesayangannya itu tidak ada disana. Salah seorang pekerja kebun mendekatinya.
“Mas Fajar mencari
kucing ya ? aku lihat dia di atas pohon belimbing… dan…” pekerja itu ragu untuk
melanjutkan ucapannya. Fajar diam dan hanya mengerutkan dahi, ”sepertinya…mati
mas!” Fajar dan Kejora membelalakkan mata, terkejut.
“apa?” pekik Kejora
“antar kami kesana pak!”. Tanpa banyak bicara lagi mereka menuju tempat
Bintang. Fajar berjalan paling belakang. Semakin dekat, Fajar dapat melihat
kucing putih belang oranye kesayangannya tergantung di atas pohon tak bernyawa
dengan mulut berbusa.
“Bintang..” ucap Fajar
setengah berbisik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar