Benarkah
senja itu membawa kedamaian? Mengapa aku tak pernah merasakannya? Seharusnya
senja itu memang menenangkan. Dengan kilauan warna emas kemerahan sang surya
yang kembali ke peristirahatannya di ufuk barat. Bersama lukisan langit yang
bisa berubah-ubah warna. Dari biru menjadi kuning kemudian merah. Bahkan
terkadang menjadi keunguan. Burung-burung dan hewan bersayap lainnya
beterbangan menuju sarangnya. Angin yang menampar wajah dan tubuh dengan
lembutnya. Tapi hanya ketakutan yang slalu kurasakan kala senja menjelang.
Senja yang menandakan bergantinya dewa matahari menjadi dewi bulan. Senja yang
menurutku bagaikan sebuah pintu gerbang raksasa yang sedang terbuka dengan
lebarya dan siap menyambutku dengan kegelapan. Malam kelam. Hitam pekat. Senja
menjelma menjadi sesosok momok yang terus menghantuiku.
Aku takut menghadapi senja. Dengan
kegelapan yang akan menghadang setelahnya. Tiada cahaya. Mataku tak dapat
melihat. Aku merasa menjadi seperti seorang tunanetra. Apa memang orang yang
buta selalu merasa berada dalam kegelapan? Ah aku tak tau. Aku bukan seorang
tunanetra dan tentu tak menginginkan menjadi itu. Karena aku takut gelap.
Aku bisa sedikit bernapas karena aku
hidup di abad 21M. Masa yang terang. Sejak ditemukannya bola lampu oleh Kang
Thomas Alva Edison, kegelapan kini dapat diminimalkan. Hanya saja aku tetap
kelabakan jika suatu saat lampu-lampu di desaku padam. Lagi-lagi kegelapan.
Aku heran. Apa yang sebenarnya aku
takutkan dari sang kegelapan? Dia bukanlah benda hidup yang bisa mencekikku
sewaktu-waktu. Tapi aku terus merasakan napasku sesak saat sang kegelapan
berjalan mengelilingiku. Apa hanya
karena dalam kegelapan aku tak dapat melihat itukah yang membuatku terus
gelisah saat malam tiba? Aku takut memejamkan mata kala suasana hitam itu. Aku
takut tak pernah bisa melihat lagi saat aku buka mataku. Berada dalam kegelapan
walau cahaya bertebaran di sekelilingku. Aku merasa terus dihantui ketakutan
sejak aku menemukan sekelompok kata yang bisa disebut informasi dari mbah google.
***
Matahari mulai bergerak di atas
ubun-ubun. Baru jam 10, tapi bola api raksasa itu sudah menyengatkan sinarnya
tanpa ampun ketika aku sampai di Alun-alun Bojonegoro. Aku bersama Ayu dan
Tyas. Bawa notebook dhewe-dhewe.
Tentu saja tujuannya hanya menikmati wifi gratisan yang tersedia dekat dengan
kantor pemkab. Sambil bergoogle ria.
Sedang temanku yang lain, tentu saja asyik berpesbuk. Aku lebih suka membuka google daripada pesbuk. Banyak info
penting yang aku dapat dari Mbah Google.
Pagi ini tak seperti biasa.
Alun-alun lebih ramai daripada biasanya. Padahal hari ini juga bukan hari libur
sekolah.
" Lagi ono festival nggawe ledre
raksasa, cah ayu! " Begitulah jawab seorang yang kebetulan sedang riwa-riwi di depankku. Aku mengerutkan
kening. Kedua temanku langsung saja menthelengi
aku. Dengan tatapan memohon, keduanya memintaku untuk jadi tukang jogo notebook. Sedang mereka berdua
langsung pergi ke lokasi terdekat festival itu. Sialan!
Daripada bengong, aku memutuskan
untuk tetap bergoogle-an. Kedua notebook temanku aku taruh di kedua sisiku. Aku
membetulkan letak kacamata yang melorot, sebelum mulai menjelajah dunia maya.
Minus mataku bertambah sebulan lalu. Sekarang menjadi -5. Tiba-tiba aku
teringat kata-kata dokter mata tempatku memeriksakan mata. " Minusmu sudah
lebih dari 4. Hati-hatilah untuk itu. Orang-orang dengan minus mata tinggi,
lebih dari 4, kebanyakan akan rentan terkena Ablasio Retina. "
Dengan tangan sedikit gemetar aku
mengetik Ablasio Retina pada kotak search
engine. Hanya hitungan detik dan layar notebookku berubah tampilan,
menayangkan informasi-informasi tentang penyakit itu.
" Ablasio retina lebih besar
kemungkinannya terjadi pada orang yang menderita miopi (rabun jauh). Bila
tidak segera dilakukan tindakan, dapat menyebabkan cacat penglihatan
atau kebutaan yang menetap." itu yang dikatakan Yung Wikipedia.
" Secara Internasional, faktor
ablasio retina terbanyak adalah miopia adalah 40-50%." yang ini adalah
ucapan Kang Scribd.
Aku tercenung mendapati tulisan itu. Kedua
temanku datang membawa sekresek ledre untuk camilan selama wifian di tempat itu
dan terheran-heran melihat aku mentheleng
layar dengan mata kosong. Mereka memintaku untuk makan cemilan yang hampir
mirip gapit gulung itu. Aroma pisang raja menyerbu hidungku saat kresek dibuka,
tapi aku tak menyentuh jajan itu sama sekali.
***
Kegelapan. Hanya kegelapan yang
selalu jadi hantu dalam aliran darahku. Aku jadi sering kurang tidur hanya
karenanya. Cahaya lampu sama sekali tak mengurangi ketakutan yang terus melanda
saat malam menyambut. Malam ini tak ada cahaya bintang bertabur yang kulihat
bagai titik-titik ketombe di angkasa. Aku terus modar mandir di setiap sudut
rumah seperti roh yang gentayangan. Hatiku tak bisa tentram. Terlebih waktu ku
dengar kabar akan ada pemadaman di desaku. Aku resah hanya dengan mikir itu.
Mataku sudah sangat berat ketika aku rebahkan pada kasurku. Entah apa yang aku
lakukan hingga aku bisa terlelap dalam buaian pulau kapuk. Namun itu hanya
sesaat karena tiba-tiba aku merasakan kegelapan yang tiba-tiba membekapku. Dan
kemudian suara lengkinganku menggemparkan seisi rumah. Aku berusaha mencari
ponsel yang tadi kugeletakkan di sampingku hanya sekedar untuk penerangan. Tapi
nihil. Aku mendengar kedua orangtuaku berusaha mencari korek api untuk
menyalakan lampu teplok. Aku tak sabar menunggu di kegelapan. Dengan tergesa
aku menmpar-nampar udara, mencari jalan keluar dari kamarku. Tapi pita suaraku
kembali bergetar dengan nada tinngi dan disusul bunyi GUBBRRAAKKK!!??!!
***
Rasanya aku sudah tertidur ribuan
tahun. Sangat lama. Aku berusaha bangun tapi tetap mata ini serasa masih
terpejam. Gelap. Itu yang aku rasakan saat aku menyadari aku sebenarnya telah
terbangun.
" Bu'e.....Pak'e apa iseh mati
lampu. kok peteng dhedhet? "
Tak ada jawaban dari keduanya. Tapi
kupingku bisa menangkap suara senggukan tertahan. Aku meneng anteng walau tak mendapat jawaban. Aku juga bisa mendengar
suara laki-laki yang sepertinya juga bicara pada sesama jenis, yang aku kenal
mirip suara Pak-ku.
Aku
pun mengerti apa yang terjadi padaku. Apa yang aku takutkan terjadi. Kegelapan
tengah membayangiku. Dan akan menjadi kekasihku jika operasi perekatan retina
ini gagal. Aku ketakutan. Tapi kali ini teriakanku tertahan di hati. Aku hanya
berusaha menenangka diri dengan tarikan napas panjang. Bu'-ku sepertinya mengerti apa yang ku rasa. Tangannya
membelai rambutku perlahan. Sayup-sayup ku dengar Bu'-ku berbisik. " Sabar
yo nduk, cah ayu! Jangan takut dengan kegelapan yang kau rasakan saat ini. Iseh ono cahaya ning tengah kegelapan yang melandamu saat ini.” Aku bisa mendengar bisikan Bu'e. Jelas.
Setitik air hangat kurasakan menyapu pipiku perlahan.
***